Ramalan Kemunculan Sang Buddha
Kitab Bhagavata Purana, atau lebih dikenal sebagai Srimad Bhagavatam, dengan sangat rinci menguraikan berbagai penjelmaan Tuhan (awatara) beserta ciri dan tugas yang harus diemban oleh masing-masing penjelmaan itu. Selama ini, kita hanya mengenal dan akrab dengan dasa awatara atau 10 penjelmaan Sri Wishnu.
Padahal sebenarnya masih ada awatara-awatara lain, yang telah muncul, namun tidak diketahui secara luas oleh umat Hindu pada umumnya.
Dalam Bhagavata Purana disebutkan 24 penjelmaan Sri Wisnu yang terkemuka. Sang Buddha, pendiri agama Buddha merupakan avatar yang keduapuluh satu, yang diramalkan akan muncul pada awal jaman Kali Yuga.
Sedangkan awatara ke-24 adalah Kalki, yang baru akan muncul nanti pada akhir Kali Yuga, kurang lebih 427.000 tahun mendatang.
Hal yang menarik untuk dipertanyakan adalah : mengapa Sang Buddha (Siddharta Gautama), yang jelas-jelas diakui oleh Weda sebagai penjelmaan Sri Wishnu, justru mengajarkan agama Buddha - yang akhirnya berpisah dari agama Hindu??
Bagaimana latar belakang situasi Dunia pada saat itu, sehingga Sri Wishnu harus menjelma ke dunia ini sebagai Sang Buddha??
Mengapa justru Sang Buddha memerintahkan para pengikutnya untuk menolak dan tidak mengakui keabsahan kitab-kitab Weda??
Apa perbedaan pokok antara ajaran Buddha dengan ajaran-ajaran Weda secara umum??
Untuk memahami misi kemunculan Sri Wishnu sebagai Buddha, mari kita simak ramalan kemunculan beliau dalam kitab Bhagavata Purana atau yang lebih dikenal sebagai Srimad Bhagavatam.
Dalam hal ini, kami mengacu pada terjemahan dan ulasan Srimad Bhagavatam edisi Bahasa Inggeris dan Bahasa Indonesia karya Om Visnupada A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, terbitan The Bhaktivedanta Book Trust International
Mengapa kita menyebutnya sebagai ramalan??
Karena Srimad Bhagavatam tersebut disusun oleh Rsi Vyasa tidak lama setelah mulainya jaman Kali atau Kali Yuga.
Bila kita rajin melihat-lihat kalender Bali, misalnya, akan kita temukan beberapa angka tahun dari berbagai sistem penanggalan yang ada di dunia. Misalnya, bersamaan dengan tahun 2008 penanggalan Masehi ini, tahun Saka saat ini adalah 1929, sedangkan Tahun Kali telah berumur 5108.
Buddha (Sidharta Gautama) lahir pada tahun 623 Sebelum Masehi, ada pula sumber lain yang menyebut beliau lahir pada 560 Sebelum Masehi. Dengan demikian, Sang Buddha telah diramalkan dalam Srimad Bhagavatam sekitar 2500 tahun sebelumnya.
Itulah kehebatan kitab Weda.
Dalam Srimad Bhagavatam 1.3.24. setelah Rsi Sukha (putra Rsi Vyasa) menjelaskan 22 avatar Sri Wishnu yang telah muncul, beliau kemudian meramalkan kelahiran dan misi kemunculan Sang Buddha.
Perhatikan kata bhavisaty dalam ayat berikut. Bhavisyati dalam bahasa Sanskerta berarti “akan terjadi”.
Ini menunjukkan bahwa yang disampaikan dalam Srimad Bhagavatam itu, pada saat itu masih berupa ramalan.
Karenanya, kita juga memiliki kitab yang bernama Bhavisya Purana, yang banyak memuat peristiwa yang akan terjadi dimasa mendatang.
Ayat yang meramalkan kemunculan Buddha Gautama adalah sebagai berikut :
tataù kalau sampravåtte
sammohäya sura-dviñäm
buddho nämnäïjana-sutaù
kékaöeñu bhaviñyati
Terjemahan kata per kata dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Indonesia ayat tersebut adalah sebagai berikut :
tataù--sesudah itu; kalau—zaman Kali; sampravåtte—setelah terjadi; sammohäya—dengan maksud untuk mengelabui; sura—orang yang percaya kepada Tuhan; dviñäm—orang yang iri; buddhaù—Sang Buddha; nämnä—yang bernama; aïjana-sutaù—yang ibunya bernama Aïjanä; kékaöeñu—di Propinsi Gayä (Bihar); bhaviñyati—akan terjadi
Kemudian, pada awal Kaliyuga, Tuhan akan muncul sebagai Sang Buddha, putra Anjana, di Propinsi Gaya, hanya dengan maksud mengelabui orang yang iri kepada orang yang setia dan percaya kepada Tuhan. (Bhagavata Purana, 1.3.24)
Sejauhmana kebenaran ramalan tersebut?
Mari kita bandingkan dengan fakta sejarah tentang Sang Buddha dan perkembangan agama yang kemudian diberi nama sesuai dengan nama Sang Pendiri tersebut.
Pangeran Siddharta Gautama lahir di Kerajaan Kapilavastu, sebagai putra mahkota Raja Suddhodhana pada tahun 623 Sebelum Masehi (Narada, 1995).
Sebelum saat ini menjadi wilayah bagian kerajaan Nepal, Kapilavastu pernah menjadi wilayah dari Propinsi Gaya (Bihar), India.
Lalu, mengapa dalam Srimad Bhagavatam, Sang Buddha diramalkan akan lahir sebagai anjana-sutah atau putra Anjana, padahal kenyataannya Siddharta lahir sebagai putra Raja Suddhodana? Salahkah ramalan itu?
Tidak, karena bila kita cermati, ibu kandung Siddharta telah meninggal dunia sejak beliau masih bayi.
Sang Buddha kemudian dibesarkan dalam asuhan neneknya yang bernama Anjana.
Jadi, yang diramalkan dalam Srimad Bhagavatam adalah nama orang yang akan membesarkan Sang Buddha.
Pangeran Siddharta lahir dalam keluarga Sakhya, yang merupakan kata lain dari kata ksatriya.
Raja Suddhodana membesarkan anaknya dengan cara sedemikian rupa, dipenuhi dengan segala kemewahan dan kesenangan duniawi, karena ingin agar nantinya sang putra mahkota ini bisa menggantikannya sebagai raja besar.
Pangeran Siddharta tidak pernah mengenal penderitaan, sang pangeran ditempatkan dalam suasana dan lingkungan yang tidak memungkinkan baginya untuk mengenal dan melihat dunia diluar istana.
Pangeran Siddharta menikah dengan putri Yashodara, dan pada usia 29 tahun memiliki seorang anak yang diberi nama Rahula.
Seiring dengan kelahiran putranya, beliau melihat peristiwa-peristiwa yang sangat mengejutkan batinya, yaitu :
·orang yang lanjut usia dan sedang menderita karena usia tuanya;
·orang sakit dan sedang menderita karena penyakitnya;
·orang yang meninggal dunia yang diusung keluarganya yang menderita karena ditinggal mati, dan
·seorang pertapa yang menyatakan bahwa dia sedang mencari cara untuk mengatasi penderitaan.
Empat peristiwa itu menggugah batin pangeran Siddharta, dan memunculkan keinginan untuk mencari cara atau jalan bagaimana agar dirinya dan manusia lainnya dapat membebaskan diri dari penderitaan.
Peristiwa keempat itulah yang memberikan inspirasi bagi sang pangeran untuk menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa, untuk mencari jalan bagaimana mengatasi penderitaan.
Empat peristiwa itu menggugah batin pangeran Siddharta, dan memunculkan keinginan untuk mencari cara atau jalan bagaimana agar dirinya dan manusia lainnya dapat membebaskan diri dari penderitaan.
Peristiwa keempat itulah yang memberikan inspirasi bagi sang pangeran untuk menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa, untuk mencari jalan bagaimana mengatasi penderitaan.
Dari uraian itu, dapat kita ketahui bahwa yang disebutkan dalam ramalan Bhagavata Purana di atas adalah nama Buddha, nama atau gelar setelah Siddharta mencapai pencerahan.
Dengan demikian, ramalan dalam Bhagavata Purana berupa nama “Buddha”, tempat kelahiran dan orang tua/pengasuh yang disebutkan dalam ramalan itu benar adanya.
Selanjutnya, kita ingin tahu mengapa dalam ramalan itu sang Buddha disebut akan melakukan “sammohaya sura-dvisam” atau “mengelabui para atheis yang iri kepada orang yang percaya dan taat kepada Tuhan”?
Bagaimana situasi keagamaan India dan sekitarnya pada masa itu??
Meskipun merupakan awatara Wishnu, namun selama 45 tahun sisa hidupnya, Buddha Gautama mengajarkan pahamnya sendiri tentang ahimsa dan mengkritik upacara-upacara yang mengorbankan hewan yang dibenarkan dalam Weda.
Pada waktu Sang Buddha muncul, rakyat umum sudah tidak percaya kepada Tuhan dan lebih suka daging hewan daripada segala makanan lainnya.
Dengan dalih kurban menurut Weda, setiap tempat secara nyata dijadikan rumah potong hewan, dan orang menyembelih binatang tanpa batas aturan.
Misi utama Buddha adalah untuk menghentikan kegiatan penyembelihan binatang, yang mengatasnamakan Weda untuk pembenarannya.
Tindakan menolak Weda itu memang harus dilakukan oleh Sang Buddha, karena tidak ada pilihan lain.
Sang Buddha lahir di distrik Gaya, propinsi Bihar, India.
Lahir dalam keluarga ksatriya, beragama Hindu.
Ajaran utama beliau adalah tidak melakukan kekerasan, ahimsa.
Propaganda khususnya adalah menghentikan pembunuhan binatang.
Kalau dibaca sekilas, Weda menganjurkan penyembelihan binatang.
Karena itu, saat Buddha mengajarkan untuk menghentikan kegiatan penyembelihan binatang, orang-orang Hindu akan menentangnya dengan dalih-dalih yang mengutip ayat-ayat Weda : “Dalam kitab-kitab Weda, penyembelihan binatang dianjurkan dalam kondisi-kondisi tertentu. Anda orang Hindu, dan pengikut Weda. Mengapa Anda mengajarkan agar kami tidak melakukan kekerasan dan pembunuhan kepada hewan?”
Demikianlah, sangat sulit bagi Sang Buddha untuk memurnikan kembali ajaran Weda, hingga akhirnya beliau harus “meninggalkan” agama Hindu.
Karena itulah beliau mengatakan kepada para penganut Hindu pada masa itu :
“Saya tidak percaya dan tidak peduli pada Weda Anda. Kalau Anda mau, ikuti saya, jangan melakukan kekerasan kepada hewan.”
Kalau kita cermati, memang banyak ajaran Buddha Gautama yang bertolak belakang dan bertentangan dengan ajaran Weda. Sebuah contoh, Weda mengajarkan adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta, sedangkan Buddha mengatakan bahwa alam semesta ini ada secara kekal, sehingga tidak dibutuhkan adanya pencipta.
Buddha tidak mengakui adanya roh (atman), sedangkan Weda mengajarkan bahwa diri kita yang sejati bukanlah badan jasmani ini, melainkan daya hidup (roh) yang terkurung dalam badan-badan jasmani.
Banyak pertentangan filsafat yang kita temukan, bila kita hendak membandingkan antara ajaran Hindu (Weda) dengan ajaran Sang Buddha.
Karena itulah menjadi jelas mengapa pada akhirnya ajaran Sang Buddha itu berdiri sebagai sebuah agama tersendiri yang di seluruh dunia dikenal dengan nama Buddhism.
Meskipun demikian, para acarya dalam tradisi Hindu tetap mengakui Sang Buddha sebagai awatara Wishnu.
Sri Jayadeva Gosvami, seorang penyair rohani dan acarya Waisnawa yang sangat termashur di seluruh India, yang hidup pada sekitar abad ke-15 mengakui Sang Buddha sebagai awatara Wishnu dalam syairnya, Dasawatara Stotra, sebagai berikut :
nindasi yajna-vidher ahaha sruti-jatam
sadaya-hrdaya darsita-pasu-ghatam]
kesava dhrta-buddha-sarira
jaya jagadisa hare
“Wahai Kesava, Oh Tuhan Penguasa Alam Semesta! Oh, Sri Hari (Krishna) yang telah menjelma dalam bentuk Buddha.
Segala pemujian kepada-Mu! O, Buddha Yang murah hati, Engkau menentang pemotongan hewan-hewan yang tidak bersalah yang dilakukan atas nama aturan korban suci menurut Weda”.
Sang Buddha mengajarkan bahwa penyebab penderitaan manusia di dunia ini adalah keinginan dan nafsu.
Penderitaan seperti itu hanya bisa diatasi dengan cara mengendalikan dan mengatasi segala keinginan.
Untuk mencapai Kebahagiaan Kekal, orang harus melakukan berpikir, berkata, dan bertindak secara benar.
Bahwa ahimsa (nonviolence) adalah dasar dari segala kebenaran. Dalam hal ini, ahimsa tidak hanya diberlakukan kepada sesama manusia, seperti yang selama ini disalahpahami oleh masayarakat Hindu, melainkan kepada semua makhluk hidup, termasuk tidak melakukan kekerasan kepada hewan atau binatang.
Terdapat 9 prinsip utama yang diajarkan oleh Sang Buddha (Airavata dasa, 1997):
1) Ciptaan bersifat kekal, karena itu tidak perlu menerima adanya Sang Pencipta.
2) Perwujudan alam semesta ini adalah palsu.
3) “Aku” adalah kebenaran.
4) Kelahiran dan kematian terjadi berulang kali (reinkarnasi)
5) Sang Buddha adalah satu-satunya sumber untuk memahami kebenaran.
6) Prinsip nirvana atau kekosongan adalah tujuan tertinggi.
7) Filsafat Buddha adalah satu-satunya filsafat yang dibenarkan.
8) Weda adalah buatan manusia
9) Dianjurkan untuk mengembangkan kasih sayang, dan tingkah laku yang bermoral.
Misi utama Buddha adalah untuk menghentikan kegiatan penyembelihan binatang, yang mengatasnamakan Weda untuk pembenarannya.
Sang Buddha mengajarkan bahwa orang hendaknya tidak mengikuti ajaran Weda, dan menegaskan efek buruk terhadap jiwa sebagai akibat membunuh binatang.
Orang-orang tersebut, yang tidak percaya kepada Tuhan mengikuti prinsip-prinsip Buddha, dan untuk sementara mereka dilatih disiplin moral dan prinsip tidak melakukan kekerasan (ahimsa) yang merupakan langkah-langkah pendahuluan untuk maju lebih lanjut pada jalan menuju kepada Tuhan.
Beliau mengelabui orang yang tidak percaya kepada Tuhan, sebab para ateis pada waktu itu yang mengikuti prinsip-prinsip Buddha tidak percaya kepada Tuhan, tetapi mereka menaruh kepercayaannya kepada Sang Buddha, sedangkan Sang Buddha adalah penjelmaan Tuhan.
Karena itulah, dalam Bhagavata Purana tersebut, Sang Buddha diramalkan akan melakukan sammohäya sura-dviñäm, atau mengelabui orang yang selalu iri kepada mereka yang percaya dan setia bersembahyang kepada Tuhan.
Dari hari kehari, jumlah pengikut Sang Buddha terus bertambah. Di bawah perlindungan Maharaja Asoka yang termashyur itu, agama Buddha berkembang dengan sangat pesat diseluruh wilayah India.
Orang-orang Hindu beralih mengikuti agama baru yang merupakan “sempalan” dari induknya, agama Hindu itu.
Hampir seluruh India menganut agama Buddha, bahkan agama Buddha juga berkembang ke negara-negara sekitarnya.
Agama Hindu seolah menjadi tenggelam dan kalah pengaruhnya dibandingkan agama Buddha.
Namun, misi dan ajaran Sang Buddha menolak ajaran Weda dan mendirikan ajaran baru tersebut adalah sebuah kebutuhan yang bersifat urgen dan mendesak.
Weda adalah sebuah sanatana dharma, sebuah ajaran yang bersifat kekal.
Esensi atau inti ajaran sanatana dharma adalah sebuah kebenaran yang bersifat universal, yang tidak akan pernah musnah ataupun berubah karena pengaruh perubahan jaman.
Jangan lupa, bahwa Sang Buddha adalah penjelmaan Wishnu sendiri, yang merupakan sumber segala ajaran Weda.
Jadi, tidak mungkin Beliau mengajarkan sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan ajaran Weda.
Kemunculan Sang Buddha merupakan tahap pertama dari serangkaian kemunculan awatara lainnya, yang bertujuan untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma.
Sri Krishna menyatakan dalam Bhagavad-gita (4.8) bahwa kemunculan Tuhan sebagai awatara mempunyai 3 misi utama, yaitu :
1)membinasakan orang jahat,
2)menyelamatkan orang saleh, dan
3)menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma yang telah disimpangkan.
Penolakan Sang Buddha terhadap Weda adalah sebuah siasat agar orang dapat dialihkan sementara dari kegiatan berdosa yang dilakukan atas nama Weda.
Dalam perkembangannya, setelah beberapa ratus tahun ajaran Buddha berkembang, muncullah Adi Sankaracharya, atau yang lebih dikenal hanya dengan sebutan Sankara.
Menurut Bhaktivedanta Swami, dalam Wishnu Purana, terdapat uraian yang menunjukkan identitas Sankara yang sebenarnya.
Sankara (788 - 820 M) adalah penjelmaan Dewa Siwa. Pada masa kemunculan Sankara, agama Buddha sedang berkembang sangat pesat di India. Sankara adalah pemuja Siwa yang dengan gigih berusaha melakukan reformasi terhadap praktek-praktek agama Hindu yang telah menyimpang & menegakkan kembali ajaran-ajaran Weda, yang telah hampir tenggelam akibat desakan ajaran agama Buddha (Satsvarupa das Gosvami, 1977)
Selama 32 tahun usia hidupnya, Sankara berhasil menaklukkan filsafat Buddha, dan menunjukkan kembali kebenaran ajaran-ajaran Weda. Kemanapun Sankara pergi, diwilayah itu, para penganut Buddha dikalahkan dalam debat filsafat, sehingga mereka kembali mengakui kebenaran Weda.
Demikianlah, Sankara (penjelmaan Siwa) berhasil menjalankan misi beliau, mengembalikan kemurnian ajaran Weda, yang sebelumnya telah dirintis oleh Sang Buddha (penjelmaan Wishnu).
Dengan demikian, masyarakat telah secara bertahap diubah, dari ateis menjadi orang yang kembali mengikuti ajaran Weda.
Hingga akhirnya, agama Buddha sama sekali tidak dapat berkembang di India, tempat kelahiran agama besar itu. Agama Buddha kemudian berkembang di negara-negara lain di Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
Ramalan kemunculan Buddha dalam kitab Bhagavata Purana 1.3.24 seperti yang telah kita bahas tersebut, membuktikan bahwa Weda adalah kitab suci tertua di Dunia.Sumber: indoforum.org/showthread.php?t=36660